Minggu, Juni 28, 2009

SUNGGUH, CINTA MEMANG SEGALANYA!

Pada bulan Juni ini, kita disuguhkan sebuah film debutan sutradara senior Chaerul Umam yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih. Film ini diangkat dari salah-satu magnum opus Habiburrahman El Shirazy. Kang Abik memang layak digelari Panglima Laskar Cinta, karena karya-karyanya banyak mengupas tema sentral makna cinta dalam arti yang sesungguhnya. Sebelumnya, lewat Novel Ayat-Ayat Cinta yang juga dialayarlebarkan, alumni al Azar tersebut, mampu memberikan bacaan alternative edukatif di tengah membajirnya bacaan-bacaan yang mendukung dekadensi moral umat muslim terbesar di dunia ini.

Sebagai apresiasi terhadap novel dan film tersebut, dengan segala keterbatasan dan kekurangan saya mencoba untuk ikut memaknai arti penting dan dahsyatnya cinta dalam kehidupan ini. Bukankah tanpa cinta saya tidak akan pernah menulis hal ini?. Benar, begitu disebut cinta, energi positif serta-merta menyeruak dan menyelimuti diri dan nurani ini untuk terus-menerus mencari dan menggapai cinta hakiki, cinta karena dan untuk ilahi.

Adalah Khoirul Azam seorang mahasiswa Al Azhar yang sudah kuliah selama 9 tahun, namun belum juga lulus. Ia sebenarnya termasuk mahsiswa yang cerdar, namun ‘terpaksa’ menunda kelulusan kuliahnya, karena harus membuat dan berjualan Tempe dan Bakso. Bisnis tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan uang yang ia kirimkam untuk ibu dan adik-adiknya di kampung. Terbukti, akhirnya Husna menjadi penulis handal berkat motivasinya. Azam adalah profileseorang anak yang mikul dhuwur mendhem jero kepada orang tua. Cinta keluarga merupakan bukti bagi orang-orang yang penuh wibawa dan kharisma.

Cinta kepada ilmu tanda jiwa ingin sempurna. Perhatikanlah, betapa Anna Althofunnisa yang tampak anggun dan mempesona bagi siapapun yang memandangnya dengan cinta kebenaran. Para pemuda terpana dibuatnya. Sunggguh, bukan karena kecantikan wajah dan eloknya fisik semata. Namun, inner beauty yang menjadikannya bak bintang terang benderang di malam purnama. Ia adalah Aisyah dan Fatimah masa kini.

Selanjutnya, mari kita bertanya?, Bagaimana kalau kita yang menjadi Fadhil? Mampukah kita merelakan orang yang kita cintai untuk dinikahi oleh sahabat kita. Bahkan, meskipun harus menahan beratnya duka dan nestapa, tetap berperan-serta mensukseskan dan meramaikan walimatul ‘Arusy pernikahan tersebut. Ya Allah, betapa cinta kepada sahabat, kawan dan teman memang bagian yang tak terpisahkan dalam mengarungi kehidupan ini. Jangan pernah mengecilkan arti sebuah persahabatan!.

Ah…Furqon, dirimu menunjukkan dan mengingatkan kita pada satu hal yang sangat penting dalam hidup ini. Ilmu, harta, fisik dan hal-hal materi memang tidak akan pernah abadi. Mengapa kita lupa dengan sejarah manusia yang terus berulang? Bukankah Fir’aun sang raja dihinakan dengan tenggelam di laut Merah?, bukankah Qorun sang milyader kala itu, juga mati ditelan bumi?, kita mestinya juga senantiasa ingat kaum Ad dan Tsamud yang diadzab dengan badai dan hujan batu, meskipun mereka memilki peradaban yang cukup maju! Marilah kita belajar untuk menjadi Nabi Sulaiman yang notabene Raja dan Ilmuwan, namun tetap pandai bersyukur. Ingatlah kesyukurannya tatkala mendengar imbauan raja Semut kepada anak buahnya!.

Cinta..dan…cinta, sang ibu yang meneteki bayinya itulah cinta, sang pemimpin yang menangis karena penderitaan rakyatnya itulah cinta, seorang guru yang sabar mendidik santrinya itulah cinta, seorang pejalan kaki yang dengan ikhlas mengulurkan tangannya pada pengemis itulah cinta. Ayam betina yang mengerami telurnya itulah cinta, hujan yang turun dari langit ke bumi itulah cinta, bahkan kerikil atau duri yang mengenai kaki itulah cinta! Ya Allah, Engkau ciptakan segalanya juga karena cinta. Ilaahii anta maqsuudii wa ridhaaka mathluubii, a’thinii mahabbataka wa ma’rifataka, amin!.