Pendidikan sesungguhnya merupakan proses penting dalam menerpa kehidupan seseorang. Tujuan utama pendidikan seorang muslim adalah agar ia menjadi lebih faham terhadap hakikat kehidupan yang dijalaninya. Hidup ini merupakan anugerah yang luar biasa. setiap kita akan melewati empat fase alam kehidupan: Alam Rahim (9 bulan, 10 hari), Alam Dunia (60-70 tahun), Alam Barzah (alam penantian) dan Alam Akhirat (kehidupan abadi).
Pendidikan yang ideal mestinya memperhatikan segala unsur yang ada pada anak didik. Makanya pendidikan setidaknya harus meliputi: pendidikan ruhani, pendidikan jasmani dan pendidikan akal. sehingga diharapkan akan tercapai keseimbngan yang utuh antara IQ, EQ dan SQ. Dan Pada saatnya, anak didik akan menjadi pribadi yang unggul (insan kamil), yang jauh dari spilt personality.
Bekal terpenting bagi seorang hamba unruk menghadap Tuhannya adalah TAQWA, sebuah loyalitas nan penuh kecintaan tiada duanya. Semua ayunan tangan, langkah kaki, lintasan fikiran dan hati, detak jantung dan setiap tarikan nafas, hendaknya bernilai pengabdian padaNya.
Namun demikian, sungguh disayangkan budaya instant yang dibalut materialisme dan hedonisme, telah merontokkan segala sistem kebenaran yang kita anut selama ini. Orang menjadi mudah untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan dan keinginannya tercapai.
Lebih naas lagi, ketika keburukan seperti berbohong, menyontek dan menipu sudah dilakukan secara masif dan sistematis, tentu akan lebih sulit untuk mengharapkan hasil pendidikan yang berimbang antara tujuan duniawi dan ukhrowi. Beberapa kasus yang disinyalir terjadi di tengah-tengah pelaksanaan Ujian Nasional belum lama ini, diakui atau tidak, sungguh telah meruntuhkan budaya kerja keras dan menghargai prestasi sejati. Apa yang akan terjadi, ketika para siswa-siswi justru diajari untuk tidak percaya diri oleh guru mereka? juga, bagaimana mereduksi 'kenangan buruk' tersebut di masa depan mereka?
Di sisi lain, keengganan para pengelola pendidikan untuk terus mengislah lembaga berikut segenap aktifitas yang diprogamkannya, menambah permasalahan tersendiri. Sekedar contoh, tentang pembiasaan berpakaian: mengapa para siswi yang sudah balighah (usia SMP dan SMA) tidak dibiasakan untuk berbusana muslimah pada waktu ke sekolah? bukankah para murid tersebut adalah anak-anak Islam? guru-guru, kepala sekolah, ketua yayasan, kepala dinas dan para staffnya hingga menteri pendidikannya adalah juga orang Islam...????
Jika hal yang dianggap kecil dan tidak memerlukan banyak biaya saja, kita sudah tidak mau dan mampu untuk memperbaikinyanya. Apalagi terhadap hal-hal yang lebih prisipil: seperti pembinaan ahlaq, perbaikan dan pengembangan kurikulum, peningkatan minat dan bakat siswa-siswi? dikhawatirkan, akhirnya lembaga pendidikan yang seperti itu, akan termasuk ke dalam kategori laa yamuutu walaa yahyaa alias tidak bermutu dan kebanyakan biaya he..he..
Lepas dari segala problematika tersebut, marilah kita bersama-sama memperbaiki pendidikan anak didik kita, sesuai kewenangan dan tugas masing-masing. Insya Allah, jerih-payah kita akan menjadi saham kebaikan yang akan kita petih hasilnya di kemudian hari, amin.
Pendidikan yang ideal mestinya memperhatikan segala unsur yang ada pada anak didik. Makanya pendidikan setidaknya harus meliputi: pendidikan ruhani, pendidikan jasmani dan pendidikan akal. sehingga diharapkan akan tercapai keseimbngan yang utuh antara IQ, EQ dan SQ. Dan Pada saatnya, anak didik akan menjadi pribadi yang unggul (insan kamil), yang jauh dari spilt personality.
Bekal terpenting bagi seorang hamba unruk menghadap Tuhannya adalah TAQWA, sebuah loyalitas nan penuh kecintaan tiada duanya. Semua ayunan tangan, langkah kaki, lintasan fikiran dan hati, detak jantung dan setiap tarikan nafas, hendaknya bernilai pengabdian padaNya.
Namun demikian, sungguh disayangkan budaya instant yang dibalut materialisme dan hedonisme, telah merontokkan segala sistem kebenaran yang kita anut selama ini. Orang menjadi mudah untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan dan keinginannya tercapai.
Lebih naas lagi, ketika keburukan seperti berbohong, menyontek dan menipu sudah dilakukan secara masif dan sistematis, tentu akan lebih sulit untuk mengharapkan hasil pendidikan yang berimbang antara tujuan duniawi dan ukhrowi. Beberapa kasus yang disinyalir terjadi di tengah-tengah pelaksanaan Ujian Nasional belum lama ini, diakui atau tidak, sungguh telah meruntuhkan budaya kerja keras dan menghargai prestasi sejati. Apa yang akan terjadi, ketika para siswa-siswi justru diajari untuk tidak percaya diri oleh guru mereka? juga, bagaimana mereduksi 'kenangan buruk' tersebut di masa depan mereka?
Di sisi lain, keengganan para pengelola pendidikan untuk terus mengislah lembaga berikut segenap aktifitas yang diprogamkannya, menambah permasalahan tersendiri. Sekedar contoh, tentang pembiasaan berpakaian: mengapa para siswi yang sudah balighah (usia SMP dan SMA) tidak dibiasakan untuk berbusana muslimah pada waktu ke sekolah? bukankah para murid tersebut adalah anak-anak Islam? guru-guru, kepala sekolah, ketua yayasan, kepala dinas dan para staffnya hingga menteri pendidikannya adalah juga orang Islam...????
Jika hal yang dianggap kecil dan tidak memerlukan banyak biaya saja, kita sudah tidak mau dan mampu untuk memperbaikinyanya. Apalagi terhadap hal-hal yang lebih prisipil: seperti pembinaan ahlaq, perbaikan dan pengembangan kurikulum, peningkatan minat dan bakat siswa-siswi? dikhawatirkan, akhirnya lembaga pendidikan yang seperti itu, akan termasuk ke dalam kategori laa yamuutu walaa yahyaa alias tidak bermutu dan kebanyakan biaya he..he..
Lepas dari segala problematika tersebut, marilah kita bersama-sama memperbaiki pendidikan anak didik kita, sesuai kewenangan dan tugas masing-masing. Insya Allah, jerih-payah kita akan menjadi saham kebaikan yang akan kita petih hasilnya di kemudian hari, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar