Rabu, September 02, 2009

MEMONOPOLI SYURGA?, JANGAN DONG! (Berhikmah Dalam Berda’wah).


Alkisah ada dua santri yang baru saja menyelesaikan tahapan tholabul ‘ilminya di sebuah pesantren. Meskipun mereka berdua masih memilki hubungan keluarga, namun watak, sikap dan perilaku mereka tidak sama. Sebut saja nama keduanya adalah Alif dan Ba. Masing-masing memiliki kelebihan, sebagaimana nereka juga mempunyai kekurangan. Alif berwatak keras, tegas, teguh pendirian, tidak kenal kompromi dalam nahi munkar, boleh dibilang ia kurang sabar ketika melihat fenomena di depan mata, yang tidak sreg dengan hati nuraninya. Sedangkan Ba memiliki watak yang halus, low profile, lembut, senang bermusyawarah dan mencoba untuk mengerti kondisi yang dihadapi.

Sekembalinya di tempat asal, mereka segera bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka juga mencoba akrab dengan para tokoh agama sebagaimana yang mereka praktekan selama di pesantren. Kedekatan mereka dengan para kyai tersebut, menghantarkan mereka mendapat tempat tersendiri di hati para pewaris Nabi ini. Hingga pada suatu hari, mereka berdua mendapatkan tugas untuk menjadi dai di kampung sebelah.

Tersiar kabar bahwa di kampung sebelah terdapat sebuah aliran sesat. Ada seorang kyai yang mengajari umatnya untuk sholat sambil membawa Gayung. Tentu saja, serta merta kabar itu tersebar luas hingga menjadi buah bibir di kalangan para kyai dan umat di kampung lainnya. Di sinilah, kedua alumni santri tersebut mendapatkan tugas untuk meluruskan apa yang mreka sebut ‘bid’ah dholalah’ itu.

Giliran pertama diberikan kepada Alif. Ia segera datang ke kampung tersebut dan menyaksiskan dengan mata kepala sendiri, apa yang selama ini menghebohkan itu. Merasa berkewajiban untuk ishlah, darahnya mendidih seketika melihat ibadah utama itu dilakukan dengan cara yang tidak lazim. Dan tanpa basa-basi, ia segera melancarkan misi utamanya. Ia minta kesempatan pada kyai kampung tersebut, untuk menyampaikan tau’iyah. “Saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah, sungguh apa yang kalian lakukan dalam sholat dengan membawa gayung ini, merupakan Bid’ah Dholalah, dan pelakunya yang tidak mau bertaubat, pasti akan masuk Neraka yang mengerikan!” jelasnya berapi-api tanpa peduli perasaan hati mereka.

Apa yang terjadi selanjutnya?. Mendengar peringatan keras itu, umat bukannya merasa mendapat pencerahan, namun justru merasa dilecehkan. Tanpa diduga, salah-seorang dari mereka berteriak: “Pukul…ini adalah penghinaan terhadap pak kyai kita!”,Serta-merta mereka memukuli dai muda tersebut dengan gayung-gayung yang masih mereka pegang. Tak ayal lagi, pemuda tersebut pingsang dan sekujur tubuhnya babak-belur dihajar massa. Ia segera dikembalikan ke daerah asalnya.

Selang beberapa lama kemudian, tibalah giliran Ba. Ia datangi jama’ah yang sedang sholat Maghrib sambil membawa gayung tersebut. Ia ikut sholat berjama’ah dengan mereka, namun tentu saja minus Gayung. Seusai wirid dan sholat ba’diyah, ia sowan kepada kyai kampung itu. “Assalamu’alaikum pak kyai, bagaimana kabar jama’ah?” sapanya dengan penuh kesopanan. “Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Adik ini siapa ya?” jawab pak kyai dengan tawadhu. Sungguh, sekencang kita melempar Bola ke dinding, sekencang itulah ia berputar arah kembali ke arah kita. Singkat cerita, mereka tampak akrab dengan mengormati maqam masing-masing.

Ditengah suasana silaturahmi yang kondusif ini, da’i muda tersebut mulai masuk ke dalam misi utamanya. “Pak kyai, mohon maaf nih, boleh nggak saya ingin ngaji di sini?”. “O..silahkan, dengan senang hati” jawab kyai. “Kalau pak kyai berkenan, saya ingin tahu referensi tata-cara sholat yang diajarkan kepada umat di sini!”. Selang beberapa menit, kyai tersebut datang kembali dengan membawa dua buah kitab Kuning dalam judul yang sama. Satu kitab dipegang oleh kyai, dan yang lainnya dipegang oleh santri abadi. Mereka pun mulai menelusuri huruf-huruf Arab tanpa harakat atau yang dikenal dengan kitab gundul.

Ketika mereka sampai kepada bab Sholat, terjadilah dialog berikut ini: “Pak kyai, mengapa umat Islam di sini ketika sholat mereka sambil membawa gayung?” Tanya Ba. Sejenak kyai tersebut memperhatikan wajah pemuda di hadapannya, ia tidak temukan rona penentangan, justru sebaliknya, tampak keingintahuannya. “Coba kamu perhatikan baris ini!” pinta kyai sambil menunjuk deretan kalimat yang terdiri dari huruf-huruf: Shod, lam bertasydid, wawu dan alif, rangkaian berikutnya ba bersambung dengan alif, disusul lam disambung dengan mim, ghin, ra, fa dan ta marbhuthah. “Silahkan, coba kamu baca” kyai itu menyuruhnya membaca rangkaian itu. “Sholluu bilmighrafah!” bacanya dengan yakin. “Apa artinya?” Tanya kyai. “Sholatlah kamu sekalian dengan Gayung!”.

Dai muda ini sedikit kaget mendapati tulisan dan arti dalil itu. Ia coba bersikap setenang mungkin meskipun hatinya mulai tidak nyaman dengan apa yang dihadapinya. Diam-diam ia berdo’a dalam hatinya, memohon kepada Allah agar menjadi asbab hidayah bagi ummat. “Allahumma alhimnaa maraasyida umuurinaa wa a’idznaa min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa, amin!”. Allah memang Maha Kuasa, sekonyong-konyong ia melihat kitab yang dipegangnya, dan mendapati rangkaian kalimat tersebut dengan sedikit perbedaan. “Pak kyai, mohon maaf nih, kok tulisan yang di kitab ini, agak berbeda?”. “Yang mana?” Tanya kyai. “Di sini tertulis: Sholluu bil ma’rifah!”. Jawab dai muda itu tanpa ragu-ragu. “mana yang benar, pak kyai?”.

Kyai tersebut termenung sambil mengerutkan dahinya. Beliau mencoba mengingat-ingat sesuatu. Dan….akhirnya, beliaupun tersenyum sendiri. Dai muda itu agak heran, belum sempat ia mengungkapkan keheranannya, beliau berkata: “Astaghfirulah……subhanallah wal hamdulillah walaailaahaillahu Allahu Akbar!”. “Ada apa pak kyai?”. “Alhamdulillah, kehadiran ananda ke sini, membawa berkah kebenaran. Rupanya selama ini, saya telah mengajarkan sesuatu yang salah kepada umat!”. “Mengapa bisa begitu pak kyai?”. “Dulu ketika saya ngaji, saya termasuk santri pelor alias nempel-molor he…., ketika saya sedang ngaji bab sholat ini, saya sedang ngantuk berat sekali, rupanya bolpen yang saya pegang jatuh tepat di atas huruf ‘ain. Makanya, saya membacanya: shollu bilmighrafah, padahal mestinya Shollu bil ma’rifah yang artinya Sholatlah kamu sekalian dengan penuh mengerti maksudnya!”

Sebelum Sholat Isya, kyai tersebut mengumpulkan jama’ahnya dan menceritakan ihwal kesalahnnya dalam mengajarkan sholat sambil membawa Gayung tersebut. “Kita patut bersyukur kepada Allah dan berterima-kasih kepada santri ini, karena sekarang kita terbebas dari bid’ah dholalah itu” ungkap kyai sambil tersenyum penuh syukur kepada dai muda tersebut. Beliaupun menceritakan betapa bahayanya menjadi santri pelor alias nempel molor, karena bisa salah faham. Mereka memulai sholat Isya tanpa membawa gayung lagi. Dai muda itu merasa sangat senang dan segera pamit pulang. Benar sabda Rasulullah SAW.: “Ketika seseorang mendapatkan kebenaran karena disebabkan olehmu, hal itu jauh lebih berharga daripada Unta Merah!”. Salam sukses untuk para Dai di manapun dan kapanpun!.
(Diceitakan ulang oleh Muhlisin Ibnu Muhtarom, Jum’at Sore, 7 Ramadhan 1430 H, di ‘Penjara Suci’ Darunnajah Cipining Bogor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar